“Bu guru Ja’far nangis bu!” Seorang murid perempuanku mengadu.
“Menangis? Memangnya kenapa Git, tumben Ja’far menangis. Coba kamu ajak dia bantu bu guru di sini. ”
Segera kukemasi beberapa buku yang baru selesai kunilai. Kureka beberapa kemungkinan yang menyebabkan Ja’far menangis. Kulukis sosok muridku yang berbadan paling kecil dalam benakku. Ja’far, berkelahikah? Ah, rasanya tak mungkin, Ja’far anak yang baik, tak punya musuh.
Terjatuhkah waktu main benteng di halaman? Tapi tadi dia sempat berkata mau ke perpustakaan mencari buku yang tadi kubacakan di kelas. Ja’far gemar sekali membaca. Atau ada hal lain. ”
“Nih bu, Ja’farnya.” Gita datang menuntun muridku yang baru kelas satu itu.
“Kenapa Far, ada apa nak? Tumben kamu menangis. Baru kali ini ibu melihatmu menangis. Jagoan kok nangis. ”
Aku merangkul pundaknya. Ja’far semakin menunduk. Bahunya berguncang makin keras, tahan tangis. Aku semakin mengeratkan rangkulanku. Aku merasa ada sebuah peristiwa yang pasti sangat melukai perasaannya.
“Kenapa sih? Coba cerita sama bu guru! ”
“Ja’far malu bu. “Bisik Ja’far. Kepalanya mendongak ke Arahku, kemudian melirik Gita yang masih ada di sampingnya. Oh … ya! Aku paham.
“Ehm, Gita main di luar dulu ya nak. Biar bu guru menyelesaikan masalah ini hanya berdua dengan Ja’far. Terima kasih kamu sudah menolong. ”Aku minta Gita keluar kelas.
Meluncurlah cerita ihwal menangisnya Ja’far. Walau dengan sedikit terbata, akhirnya aku mengerti. Rupanya kaos kaki Ja’far robek, bolong besar malah. Dan itu yang membuat teman-teman menertawakannya. Sementara ayah Ja’far belum bisa membelikan yang baru, karena uangnya terpakai untuk membeli kebutuhan yang lain.
Aku mahfum benar, tidak semua muridku berasal dari keluarga yang mampu. Walau sebetulnya sekolah tempatku mengajar diperuntukkan untuk kelas menengah ke atas, tapi ada beberapa di antara mereka yang masuk karena mendapat keringanan biaya. Jadi, kaos kaki robek bisa menjadi sebuah bahan tertawaan untuk murid-muridku.
“Ja’far, bu guru ingin berbagi cerita sama kamu, maukah kamu mendengarkannya?” Sambil menunggu jawaban Ja’far, kucoba mengumpulkan potongan-potongan kisah hidup yang pernah kualami selama kecil dahulu, ah ya … Ja’far mengangguk. Aku pun memulai ceritaku.
“Saat ibu seusiamu, ibu pergi ke sekolah tak pernah membeli sepatu. Ibu hanya pakai sandal jepit. Seragam pun tidak. Padahal teman-teman yang lain memakainya. Awalnya ibu malu sekali. Hampir-hampir ibu minta berhenti bersekolah. Apalagi setiap ibu bertanya pada orang tua ibu t kenapa aku enggak dibelikan seragam dan sepatu, mereka bilang belum punya uang.
Rasanya sedih sekali tapi ibu sangat ingin bersekolah. Karena ibu ingin menjadi anak yang pintar. Akhirnya ibu bersama kakak laki-laki punya ide berjualan es mambo sepulang sekolah. Kebetulan di belakang rumah ada lapangan bola yang sering dipakai untuk bertanding, jadi kami bisa berjualan di sana. Alhamdulillah jualan kami selalu laku. Uang keuntungan dari berjualan kami kumpulkan. Akhirnya ibu bisa membeli sepatu dan seragam sendiri, tanpa meminta pada orangtua. Ya, Walaupun lama terkumpulnya tetapi tidak apa-apa. ”
“Ibu tidak malu di sekolah diejek teman-teman ibu?” Ja’far bertanya dengan antusias.
“Ehm… awalnya ibu malu juga kalau ketemu teman saat ibu berjualan es. Tapi lama-lama ibu tidak peduli, ibu mencari uang dengan halal kok, tidak mencuri, yang penting bisa terus bersekolah memakai seragam dan sepatu. Alhamdulillah, ibu selalu masuk tiga besar di sekolah dahulu. ”
Air mata Ja’far menyurut. Mata bulatnya menatapku penuh takjub. Entah apa yang ada di benaknya. Mungkin Ja’far bayangkan Bu Titin kecil yang sedang berkeliling lapangan menjajakan es sambil berteriak: “Es … es …,” atau membayangkan Bu Titin kecil yang sedang diejek teman-temannya karena ke sekolah tidak memakai seragam dan sepatu.
Ah, entahlah. Yang jelas, Ja’far mulai tersenyum malu. Kemudian menyeka hidung dan pipinya yang basah.
“Terima kasih ya Bu Titin. Kalau ibu bisa seperti itu, aku yakin aku juga bisa seperti itu. Boleh kan aku juga berjualan di sekolah? ”
“Oh, tentu saja boleh …!”
Subhanallah. Tak sampai dalam hitungan menit, Ja’far sudah tertawa ceria bersama teman yang lain. Melupakan kesedihan dan ejekan teman-temannya. Melupakan aku yang duduk termenung sambil duduk tersenyum. Duhai Rabb Yang Maha Sempurna dalam penciptaan. Alangkah sederhananya pekerjaan “menyembuhkan” luka hati seorang anak kecil.
Tak butuh energi yang banyak. Tak perlu teriakan amarah. Tak ada uang yang harus dikeluarkan. Yang diperlukan hanyalah telinga untuk mendengar dengan penuh kesabaran. Yang diperlukan hanyalah senyum tulus dan pengakuan.
Yang diperlukan hanyalah kalimat-kalimat penuh motivasi dari lubuk hati kasih sayang. Karena kita adalah Sang Motivator. Motivator ulung bernama guru. Wallahua‘lam bish shawab.
Sumber:
Judul: Aku Bangga Menjadi Guru
Penulis: Titin Supriatin
Penerbit: Lentera Ilmu Cendekia
Bekasi 10 Maret 2011