Perkebunan Indonesia telah melewati perjalanan sejarah yang panjang. Lebih dari lima abad yang lalu, lautan nusantara telah ramai oleh lalu lintas perdagangan komoditi utama produk perkebunan, seperti lada, pala, cengkih dan rempah-rempah yang kemudian berkembang dengan berbagai komoditi tambahan, seperti kopi, kakao, karet dan kelapa sawit yang tetap menjadi produk utama dalam perekonomian nasional.
Pada awalnya perkebunan merupakan sistem perekonomian pertanian komersial yang bercorak kolonial. Sistem perkebunan ini dibawa oleh perusahaan kapitasi asing yang sebenarnya merupakan sistem perkebunan Eropa. Sistem perkebunan Eropa sangat berbeda dengan perkebunan rakyat yang bersifat tradisional dan diusahakan dalam skala kecil dengan penyertaan modal yang seadanya.
Perkebunan merupakan bagian dari sistem perekonomian pertanian komersial yang diwujudkan dalam bentuk usaha pertanian tanaman komersial dalam modal, menggunakan lahan yang luas, memiliki organisasi tenaga kerja yang besar dengan pembagian kerja yang rinci, serta sistem adiministrasi dan birokrasi.
1. Periode Penjajahan Belanda
Sistem kebun Indonesia pada mulanya merupakan sistem usaha pertanian tradisional yang telah ada sebelum masuknya VOC pada tahun 1600. Pada masa tersebut, sistem usaha kebun rakyat menjadi sumber eksploitasi komoditi perdagangan untuk pasar Eropa. Sistem penyerahan paksa yang dipakai VOC untuk mengeksploitasi komoditi ekspor tersebut bahkan diteruskan sampai awal abad ke 19, sekalipun pemerintah jajahan telah berganti dari VOC ke tangan pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1800 an.
Proses peubahan sistem usaha kebun ke perusahaan perkebunan di Indonesia pada saat itu merupakan perubahan teknologi dan organisasi proses produksi yang berkaitan erat dengan perubahan kebijaksanaan politik kolonial dan sistem kapitalisme kolonial yang menjadi latar belakangnya. Secara umum, pertumbuhan sistem perkebunan pada masa kolonial mengalami 2 fase perkembangan, yaitu industri perkebunan negara yang kemudian beralih ke industri perkebunan swasta.
Sistem tanam paksa merupakan bentuk perwujudan industri perkebunan negara yang merupakan kelanjutan dari politik eksploitasi dilakukan secara tidak langsung yaitu melalui kepala pemerintahan feodal setempat, maka tindakan eksploitasi pemerintah kolonial dilakukan secara langsung menggunakan sistem perkebunan negara.
Pelaksanaan sistem eksploitasi baru ini dilaksanakan dengan alat birokrasi pemerintah yang berfungsi langsung sebagai pelaksana dalam proses mobilisasi sumber daya perekonomian agraris tanah jajahan, yaitu penguasaan terhadap tanah dan tenaga kerja.
Perubahan kebijaksanaan politik kolonial pada tahun 1870 an terjadi setelah beralihnya kebijaksanaan politik konservatif menjadi kebijaksanaan politik liberal, yaitu dengan dikeluarkannya Agrarische Wet atau Undang-undang Agraria. Implikasinya, politik eksploitasi yang semula dikelola oleh perusahaan negara diganti dengan perusahaan swasta. Perubahan tersebut ditandai dengan meningkatnya gelombang pembukaan industri perkebunan yang dilakukan oleh para pengusahan Eropa di tanah jajahan.
Perkebunan rakyat/pribumi juga berkembang dengan pesat pada periode 1894-1939. Pada masa itu, nilai hasil produksinya berlipat 10 kali, sedangkan perkebunan Barat hanya berlipat 2 kali. Sepanjang perkembangan perkebunan pada abad ke 20, keikutsertaan rakyat dalam mengusahakan perkebunan mulai tampak, bahkan di beberapa daerah ada kecenderungan bahwa rakyat semakin mementingkan komoditi perkebunan.
2. Periode Pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang tahun 1942-1945, ekonomi perkebunan dapat dikatakan terhenti karena terjadi penurunan produksi perkebunan yang drastis. Hal ini diseabkan kebijaksanaan pemerintah Jepang dalam meningkatkan produksi pangan untuk kepentingan ekonomi perang dengan melakukan pembongkaran tanaman perkebunan dan menggantikannya dengan tanaman pangan.
Awalnya pembongkaran tanah perkebunan dilakukan pada lahan yang paling mudah diubah menjadi lahan tanaman pangan, yaitu perkebunan tembakau serta tebu. Namun, perambahan kebun akhirnya meluas ke onderneming tanaman keras. Kerusakan yang paling parah terjadi pada tanaman teh dengan kehilangan tidak kurang dari 1/3 lahannya, kehilangan karet sebanyak 12% dari luas lahan semula, dan kehilangan kelapa sawit sebanyak 16% dari luas lahan semula.
Pendudukan jJepang telah menggoreskan tinta hitam dalam lembaran sejarah perkebunan di Indonesia. Keadaan tersebut menjadi semakin parah karena pada periode konsolidasi pemerintah Republik Indonesia telah terusirnya Jepang, tanah-tanah perkebunan diokupasi oleh penduduk setempat dan menggantinya dengan tanaman pangan.
3. Masa Pemulihan Perkebunan
Berdirinya Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan puncak momentum perjuangan bangsa. Penyelenggaraan pemerintahan pada waktu itu masih melakukan konsolidasi terhadap masalah teritorial dan ancaman dari luar negeri. Selama periode 1945-1949, tidak ada kestabilan politikm baik di pusat maupun di daerah. Krisis kabinet di pusat yang terjadi terus-menerus dan timbulnya gerakan separatis antipusat di daerah menyebabkan pembangunan dan perkembangan ekonomi menjadi terkendala dan merosot.
Pada tahun 1952, 98% dari perkebunan karet, 88% dari perkebunan kelapa sawit dan 80% dari perkebunan serat sudah beruperasi kembali. Usaha pemulihan perkebunan itu didasarkan pada beberapa faktor sebagai berikut.
a. Besarnya kerusakan yang diderita oleh suatu perkebunan terutama modal dan alat-alat pengolahannya.
b. Jumlah modal yang diperlukan untuk mengoperasikannya jika kerusakan dinilai sangat berat
c. Luas lahan perkebunan yang telah dipergunakan oleh penduduk setempat untuk menanam tanaman pangan
d. Jumlah ganti rugi yang dituntut oleh badan atau organisasi yang menyelenggarakan pengelolaan
e. Aktivitas pencurui/perampok lokal yang dapat mengganggu penyelenggaraan perkebunan
f. Luas lahan yang diduduki oleh rakyat secara liar.
4. Periode Nasionalisasi Perusahaan Swasta Belanda dan Pemerintahan Orde Baru
Nasionalisasi perusahaan perkebunan milik swasta Belanda dipicu oleh tuntutan pemerintah Indonesia kepada pemerintah Belanda tentang kedaulatan rakyat Irian Barat. Sejak gagalnya pemerintah Indonesia di Irian Barat pada pemungutan suara di PBB pada tanggal 29 November 1957, timbul gelombah pemogokan buruh yang bekerja di perusahaan perkebunan Belanda, Pemogokan ini segera disusul dengan tindakan pengambilalihan perusahaan dan perkebunan-perkebunan Belanda oleh para buruh.
Pola pengembangan yang telah dilaksanakan/ditetapkan pemerintah sejak orde baru antara lain sebagai berikut:
1. Seak tahun 1967, pengusahaan perkebunan kelapa sawit dikelola oleh dua kelompok perusahaan, yaitu Perusahaan Negara Perkebunan (PNP) dan Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN).
2. Pola perkebunan inti rakyat (PIR) dalam bentuk NES/PIR-Bun pada tahun 1977/1978, yaitu PIR-Lokal, PIR-Khusus, PIR-Berbantuan, dan PIR-Trans.
3. Sejak 16 Desember 1978 – 3 Juni 1991, pemerintah ikut campur tangan dalam pemasaran komoditas kelapa sawit.
5. Periode Reformasi dan Awal Pelaksanaan UU Perkebunan No. 18 Tahun 2004
Kegiatan pembangunan tahun 2000-2004 berada pada era reformasi pembangunan di segala bidang yang menyebabkan terjadinya perubahan paradigma manajemen pembangunan nasional sesuai dengan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP N0.25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom.
Perubahan Paradigma ini secara nyata menggeser inisiatif dari dominansi pemerintah ke inisiatif masyarakat, dari pendekatan sektoral ke pendekatan jejaring kerja, dari sentralisasi ke desentralisasi, dari sistem komando menjadi sistem pasar bebas, dari ketergantungan ke saling membutuhkan, dan dari pendekatan produksi menjadi pendekatan produkitvitas.
Sumber:
Judul: Panduan Lengkap Kelapa Sawit, Manajemen Agribisnis dari Hulu Hingga Hilir
Penyusun: Iyung Pahan
Penerbit: Penebar Swadaya