Sejarah mencatat, lahirnya Tangerang bermula dari sebutan kepada sebuah bangunan Tugu berbahan dasar bambu yang didirikan oleh Pangeran Soegiri, putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Kesultanan Banten. Tugu tersebut terletak di bagian Barat Sungai Cisadane yang diyakini saat ini berada di wilayah Gerendeng (Karawaci). Oleh masyarakat sekitar, bangunan Tugu tersebut disebut “Tengger” atau “Tetengger” yang dalam bahasa Sunda berarti tanda atau penanda. Sesuai dengan julukannya, fungsi dari Tugu tersebut memang sebagai penanda pembagian wilayah antara Kesultanan Banten dengan pihak VOC Belanda. Dimana, wilayah Kesultanan Banten berada di sebelah Barat dan wilayah yang di kuasai VOC di sebelah Timur sungai Cisadane. Hingga pada sekira tahun 1652. Kala itu penguasa Banten mengangkat tiga orang maulana, yang diberi pangkat Aria. Ketiga maulana tersebut merupakan kerabat jauh Sang Sultan yang berasal dari Kerajaan Sumedang Larang, bernama Yudhanegara, Wangsakara dan Santika.
Ketiganya diminta dan diutus untuk membantu perekonomian Kesultanan Banten dengan melakukan perlawanan terhadap VOC (Belanda) yang semakin merugikan Kesultanan Banten dengan sistem monopoli dagang yang diterapkannya. Pada perjuangannya, ketiga maulana tersebut membangun Benteng pertahanan hingga mendirikan pusat pemerintahan kemaulanaan yang menjadi pusat perlawanan terhadap VOC di daerah Tigaraksa. Namun, dalam pertempuran melawan VOC, ketiga maulana gugur satu demi satu. Aria Santika wafat pada tahun 1717 di Kebon Besar Kecamatan Batuceper, Aria Yudhanegara wafat pada tahun 1718 di Cikolol dan pada tahun yang sama Aria Wangsakara menutup usia di Ciledug dan di makamkan di Lengkong Kiai.
Daerah di sekitar Benteng pertahanan yang dibangun oleh ketiga maulana disebut masyarakat sekitar dengan istilah daerah Benteng. Hal ini turut mendasari sebutan Kota Tangerang yang dikenal dengan sebutan Kota Benteng. Beralih ke latar belakang berubahnya istilah/sebutan “Tangeran” menjadi “Tangerang”. Hal ini bermula pada tanggal 17 April 1684, pada saat ditandatanganinya perjanjian antara Sultan Haji atau Sultan Abunnashri Abdulkahar putra Sultan Ageng Tirtayasa pewaris Kesultanan Banten dengan VOC. Pada salah satu pasal perjanjian tersebut menyebutkan bahwa wilayah yang kala itu dikenal dengan “Tangeran” sepenuhnya menjadi milik dan ditempati oleh VOC. Dengan adanya perjanjian tersebut, daerah Tangerang seluruhnya masuk kekuasaan Belanda. Kala itu, tentara Belanda tidak hanya terdiri dari bangsa asli Belanda tetapi juga merekrut warga pribumi di antaranya dari Madura dan Makasar, yang di antaranya ditempatkan di sekitar wilayah Benteng.
Konon, tentara VOC yang berasal dari Makasar tidak mengenal huruf mati, dan terbiasa menyebut “Tangeran” dengan “Tangerang”. Kesalahan ejaan dan dialek inilah yang diwariskan dari generasi ke generasi bahkan hingga saat ini.
kami MK Academy menyelenggarakan pelatihan rutin di kota Tangerang ,secara rutin , silahkan kontak kami jika membutuhkan pelatihan tentang ISO, Forestry, Environtment, dan yang lainnya.
Sumber : wikipedia
MK Academy Keliling Indonesia
Kami MK Academy Menyelenggaran Pelatihan di Kota Tangerang, Secara Rutin, Silahkan hubungi kami di 081288292374 dan 081315178523 (Telepon/Wa)