Pendahuluan
Ekolabel merupakan instrumen yang diciptakan untuk pelestarian hutan dan lingkungan melalui mekanisme pasar. Industri perkayuan, termasuk furnitur, secara sukarela dapat melakukan sertifikasi ekolabel untuk menunjukkan bahwa bahan baku kayu yang digunakan berasal dari hutan lestari dan proses produksi ramah lingkungan.
Industri furnitur sangat strategis bagi Indonesia karena lokal konten hampir seratus persen, terbarukan dan memiliki total linkage tertinggi dibanding industri lainnya (Ramdani, 1999). Ecolabel memudahkan konsumen memilih produk yang ramah lingkungan dibandingkan produk lain yang sejenis.
Kerusakan lingkungan hutan semakin parah disebabkan maraknya illegal logging, perdagangan kayu illegal dan alih fungsi hutan yang tidak terkendali. Konsumen hijau menganggap sistem pengelolaan hutan dengan command and contro lnegara-negara tropis telah gagal sehingga perlu diganti dengan voluntary.
Menurut Emil Salim, hal itu kemudian memunculkan komitmen politik dan komersial dari berbagai stakeholders internasional, pada 6-7 Juni 2000 di London Arena, Inggris; WWF bekerjasama dengan FSC menyelenggarakan konferensi dan pameran dagang tentang produk hutan bersertifikat. Hasilnya berupa kesamaan visi antara berbagai global stakeholders kehutanan tentang vitalnya peranan sertifikasi ekolabel sebagai titik temu antara kelestarian hutan dan perdagangan produk hasil hutan.
Komitmen komersial dari pembeli-pembeli utama produk hutan dan olahannya di Eropa dan Amerika Utara menguatkan tren keharusan ekolabel ini. Home Depot, mendukung dengan komitmen bahwa mulai tahun 2002, semua produk kayu yang dibelinya harus bersertifikat ekolabel (Salim, 2010). Pembeli utama di Inggris seperti B&Q dan Wickes juga mendukung komitmen ekolabel.
Komitmen tersebut ternyata didukung data empirik. Menurut laporan WWF, “Certification: A Future for The World’s Forests“, menyebutkan bahwa pada awal tahun1990-an, hutan bersertifikat di seluruh dunia belum ada satu hektar. Pada tahun 1996, jumlah hutan bersertifikat mencapai sekitar dua juta hektar.Dalam periode 1996-2000, jumlah tersebut naik secara eksponensial mencapai hampir 19 juta hektar.
Dari fakta di atas, dikotomi antara pelestarian hutan versus tuntutan pasar menjadi tidak relevan lagi. Keduanya bisa dijembatani oleh sertifikasi ekolabel, sebuah instrumen SFM dan perdagangan internasional sekaligus.Ekolabel diharapkan menjadi salah satu cara untuk mengatasi perusakan hutan tropis. Sifat ekolabel yang voluntary memerlukan pemahaman yang benar yaitu untuk pelestarian lingkungan hutan. Salah satu pengguna sumberdaya hutan adalah industri furnitur kayu.
Dalam persaingan bisnis, berbagai strategi dilakukan guna meningkatkan angka penjualan, mulai dari permainan harga, penyebaran area distribusi, inovasi produk, jasa pelayanan, hingga kegiatan-kegiatan promosi yang bersifat masal. Dunia perdagangan internasional tidak lagi bebas dari masalah lingkungan.Masyarakat dunia yang semakin peduli terhadap lingkungan adalah merupakan ceruk pasar yang potensial.
China telah menjadieksportir terbesar dunia sejak 2005, melampaui industri tradisional di Eropa, Jerman dan Italy (Ganguly and Eastin 2011). Di China, industri furnitur menyatakan sikap positif terhadap sebagian besar laporan survei tentang sertifikasi hutan dan pengaruhnya terhadap industri.
Laporan dipandang positif termasuk keyakinan bahwa sertifikasi ekolabel dapat membantu perusahaan memasuki pasar baru (terutama pasar di Eropa dan Amerika Utara), sertifikasi dapat membantu mempertahankan pasar perusahaan yang ada jika persyaratan baru pada isu-isu lingkungan diimplementasikan.
Ekolabel sangat membantu dalam meningkatkan daya saing dan citraperusahaan pada masyarakat, dan perusahaan optimis tentang pangsa pasar yang meningkat dan keuntungan yang akan dihasilkan dari penjualan produk-produk kayu bersertifikat selama dua tahun ke depan (Yuan & Easting, 2007).
Negara Produsen |
CoC-PEFC Certificates | CoC-FSC Certificates | CoC Certificates | Pasar Ekspor |
USA | 354 | 3714 | 4068 | V |
EU-27 | 7236 | 9905 | 17141 | V |
Japan | 210 | 1130 | 1340 | V |
China | 155 | 1827 | 1982 | V |
Malaysia | 171 | 132 | 303 | |
Vietnam | 393 | |||
Lainnya | 4778 | |||
Total Dunia | 8797 | 21879 | 30676 |
|
Tabel diatas menunjukkan negara-negara produsen mebel yang juga merupakan pasar ekspor utama furnitur Indonesia. Kini mereka menerapkan aturan yang ketat seperti peraturan perundangan perdagangan kayu, EU Timber Regulation No. 995/2010 (EUTR) Uni Eropa, LAA (Lacey Act Amandement) Amerika Serikat, (Green Koo Nyu Ho) Jepang.
Negara–negara tersebut akan menolak masuknya produk kayu non-ecolabel. Respon positif industri furnitur China terhadap perubahan pasar yang cenderung ke produk ramah lingkungan telah menjadi salah satu faktor sukses menguasai pasar dunia.
Menurut Yuan dan Eastin, produsen furnitur China menghadapi isue lingkungan (ekolabeling) bukan sebagai tekanan melainkan tantangan pasar dan sekaligus peluang. Ekolabel dijadikan strategi untuk penetrasi pasar dunia(Yuan, Eastin, 2007). Hal ini dapat disimak pada pertumbuhan ekolabeling di China. Jumlah industri bersertifikat FSC-CoC pada tahun 1998 hanya satu, tahun 2009 menjadi 971 dan tahun 2011 telah mencapai 1356 unit industri furnitur.
Menurut Yu Huang, kini China memiliki 1,827 industri furnitur bersertifikat FSC-COC dan merupakan eksportir furnitur dunia yang terbesar (Huang, 2013).Sertifikasi sangat membantu dalam meningkatkan daya saing dan citra perusahaan pada masyarakat, dan perusahaan optimis tentang pangsa pasar yang meningkat dan keuntungan yang akan dihasilkan dari penjualan produk-produk kayu bersertifikat selama dua tahun ke depan (Yuan dan Eastin, 2007).
Sertifikat FSC-CoC di (daratan) China telah mencapai 1.356, dibandingkan dengan hanya satu pada tahun 1998 dan 1971 pada tahun 2009 Faktor dominan eko labeling di China adalah kesadaran produsen, untuk menguasai pasar dunia (Cao, 2011).Vietnam mencapai 393 unit industri bersertifikat CoC (Lien, 2013). Persaingan dagang di dunia kini tidak hanya diwarnai oleh kualitas tinggi dan harga yang kompetitif tetapi juga kepedulian terhadap lingkungan (Farida,1997).
Perdagangan mebel dunia pada tahun 2010 mencapaiUSD135 miliar atau sekitar 1% dari total perdagangan dunia dibidang manufaktur. Sekitar 54% dari ekspor mebel berasal dari negara sedang berkembang termasuk Indonesia, Malaysia, Meksiko, Polandia, dan China. Industri furnitur China berkembang sangat cepat dan mendominasi perdagangan sebesar 16%.
Pasar mebel dunia adalah pasar terbuka. Rasio impor dan konsumsinya lebih dari 31%. Mebel dari kayu jati dan mahoni paling diminati di dunia karena alasan kekuatan dan estetika. Mebel merupakan salah satu komoditi ekspor utama Indonesia selain minyak dan gas bumi, tiga yang lainnyaadalah kelapa sawit, garmen dan karet.
Perkembangan ecolabeling di Indonesia yang memiliki 78 unit industri bersertifikat CoC dibanding negara produsen furnitur pesaing seperti China (1,827) dan Vietnam (393), ketinggalan jauh yang senada dengan kinerja pasar ekspornya. Posisi Indonesia saat ini sebagai eksportir mebel ranking ke 13 dibawah Malaysia yang menempati peringkat ke delapan dan Vietnam ke lima.
Tujua Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman ekolabeling pada industri furnitur dalam kaitannya dengan perkembangan ecolabelling yang lamban dibanding negara-negara produsen pesaing.
Metode
Metode yang digunakan adalah survei dan indepth interview terhadap stake holders. Survei dilakukan hanya terhadap industri kategori besar yang berpeluang tinggi untuk sertifikasi CoC (Vidal, 2003). Kuesioner didistribusikan ke delapan klaster industri di Semarang, Demak, Jepara, Blora, Klaten, Surakarta, Magelang dan Yogyakarta.
Jumlah minimum responden 43 unit (rumus Slovin). Data diolah dengan perangkat lunak SmartPLS. Berbasis pada model konseptual, diformulasikan path diagram dengan bantuan software. Langkah berikutnya setelah penyusunan diagram jalur adalah mengevaluasi model PLS berdasarkan pada pengukuran prediksi yang mempunyai sifat non parametrik.
Ada dua unsur yang diukur yaitu outer model dan inner model. Evaluasi ini dilakukan secara berulang (iterative), dengan cara mengukur dan membuang variabel yang tidak valid, sampai ditemukan bahwa semua variabel yang tersisa adalah valid.Outer model diukur dengan indikator refleksif dievaluasi dengan convergent dan discriminant validity dari indikatornya dan Composite Reliability untuk blok indikator.
Model struktural atau Inner model dievaluasi dengan melihat prosentase variance yang dijelaskan yaitu dengan melihat nilai r2 untuk konstruk laten dependen dengan menggunakan ukuran Stone-Geisser Q Square test dan juga melihat besarnya koefisien jalur strukturalnya (Ghozali, 2008).
Hasil
Hasil pengolahan data untuk validasi model ditunjukkan pada gambar 1 yang mengilustrasikan hubungan antar latent variable dan indikator variabel yang valid. Hipotesis diterima jika Nilai Tstat ≥ 1,684. Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa industri cenderung untuk tidak sertifikasi karena pemahaman negatif dari eco-label (H1).
Tingginya biaya sertifikasi tidak menghalangi pemahaman tentang eco-labeling (H2), sertifkasi akan dilakukan demi
kepentingan bisnis. Pembeli sangat berpengaruh terhadap pemahaman tentang ekolabel (H3). Peran pemerintah juga sangat berpengaruh terhadap pemahaman ekolabel (H4). Latar belakang pendidikan tidak berpengaruh dalam pemahaman manfaat ekolabel (H5).
Sertifikasi dilakukan karena alasan bisnis, menuruti permintaan pembeli maupun karena memahami bahwa ekolabel memiliki manfaat bagi industri (H6). Industri memahami ekolabel tetapi tidak bersertifikat karena menganggap bahwa sertifikasi itu adalah rumit dan merepotkan. Dalam posisi ini industri akan mudah untuk diajak melakukan sertifikasi jika diminta oleh pembeli (H7).
Meskipun demikian, tidak serta merta pemahaman ekolabel akan membuat industri melakukan sertifikasi. Hal itu
tergantung kepada kepedulian produsen dan pertimbangan bisnis (H8). Ekolabel tidak selalu diterima sebagai instrumen pengelolaan lingkungan. Banyak industri yang tidak paham (79%), dan memiliki pemahaman yang cenderung negatip (H9).
ASMINDO memiliki peran yang signifikan dalam pemahaman ekolabel (H10). Tetapi lembaga ekolabel tidak signifikan dalam pemahaman pada industri (H11). (Santoso dkk, 2013).
Pembahasan
Tujuan ekolabeling adalah agar sebanyak mungkin industri bersertifikat CoC.Melalui model ini dapat diketahui karakteristik produsen mebel di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Pemahaman yang kontra produktif yaitu persepsi bahwa ekolabel merupakan entry barrier perdagangan internasional yang diciptakan oleh Negara maju (15% tidak setuju, 32% setuju, 53% netral).
Pemahaman yang menghambat perlu diatasi sehingga sertifikasi ekolabel dapat berjalan dengan baik. Pemahaman yang benar akan mendorong pengelolaan lingkungan pada industri furnitur berbasis ekolabel. Dengan melakukan sertifikasi CoC maka dapat dipastikan bahwa industri furnitur akan ramah lingkungan. Pengelolaan lingkungan akan berjalan dengan baik berbasis prosedur yang telah ditetapkan dalam sistem ekolabel.
Pemahaman ekolabel merupakan konstruk variabel dengan dimensi mengerti dan tidak mengerti. Pada dimensi mengerti, tidak berarti akanserta merta melakukan sertifikasi, melainkan dapat pula tidak melakukan sertifikasi karena masih terdapat dimensi pemahaman (mengerti) yang berbeda-beda. Jika dipahami dengan benar artinya adalah ekolabel sebagai instrumen pengelolaan lingkungan.
Dengan kesadaran produsen terhadap lingkungan yang tinggi maka produsen akan mensertifikatkan industrinya, karena percaya bahwa ekolabel berdampak positif terhadap citra perusahaan, pangsa pasar dan profit karena pembeli juga akan mengapresiasi dengan bersedia membayar lebih tinggi.
Sebagai unit bisnis dan sifat sukarela ekolabel, maka dapat pula sertifikasi dilakukan jika pembeli mensyaratkan. Artinya produsen memandang sertifikasi sebagai investasi yang menguntungkan. Elemen variabel yang muncul dapat juga berupa pemahaman dalam perpektif kontra produktif dalam ekolabeling.
Ekolabel dipahami sebagai upaya persaingan yang tidak sehat dari negara maju, bertentangan dengan GATT/WTO, atau penjajahan ekonomi baru. Ekolabel berbiaya mahal, prosesnya rumit dan memakan waktu lama, sedangkan selama ini industri mebel merasa tidak ada masalah. Mereka juga merasa bukan perusak hutan, atau perusak
lingkungan. Maka dimensi pemahaman ekolabel cukup luas.
Pemahaman ekolabel pada industri furnitur dipengaruhi oleh sosialisasi ekolabel, latar belakang pendidikan, peran pemerintah, peran ASMINDO, dan tuntutan pasar.
Faktor-Faktor Pendukung Ekolabel
1. Sesuai hasil uji hipotesis (H2) bahwa bagi industri besar maka biaya mahal ternyata tidak signifikan sebagai alasan untuk tidak melakukan sertifikasi ekolabel yang bersifat sukarela.
2. Tuntutan pasar (H3) secara signifikan merupakan kekuatan agar industri mau melakukan sertifikasi ekolabel. Peran pemerintah signifikan dalam pemahaman manfaat ekolabel.
3. Sesuai hipotesis (H4) pemerintah perlu mendorong dan melakukan sosialisasi kepada industri secara lebih efektif untuk pemahaman ekolabel. Terutama kementerian kehutanan, lingkungan hidup, perindustrian dan perdagang.
4. Badan ekolabel (H5) dapat memberikan penyuluhan sertifikasi secara lebih efektif. Sesuai dengan hasil uji hipotesis H10.
5. Peran ASMINDO secara significan berpengaruh terhadap pemahaman ekolabel.
6. Sesuai hipotesis H1 ternyata bahwa industri yang tidak melakukan ekolabel tidak berhubungan dengan pemahaman manfaat ekolabel. Tidak melakukan ekolabeling dapat disebabkan karena belum pernah mendapatkan sosialisasi ekolabel sehingga tidak paham arti dan manfaat ekolabel.
Dalam hal ini maka berarti industri tersebut ada kemungkinan akan melakukan sertifikasi jika mendapatkan informasi yang tepat tentang manfaat dari ekolabel. Tidak melakukan ekolabeling karena 81% pembeli tidak pernah membicarakan atau menuntut persyaratan ekolabel didalam syarat transaksinya. Kebanyakan pembeli lebih mengutamakan kualitas barang, dan mereka umumnya melihat langsung ke pabrik untuk melihat proses manufaktur dan meyakinkan kualitas barang.
Faktor Penghambat Ekolabel
1. Bagi perusahaan menengah dan kecil, maka biaya merupakan kendala. Pemahaman manfaat ekolabel juga belum menyentuh mereka. Produsen hanya fokus pada pemenuhan order dari pembeli. Jika pembeli tidak mensyaratkan ekolabel akan menyebabkan industri tidak termotivasi untuk mengetahui atau memahami ekolabel.
2. Industri furnitur kurang mendapatkan sosialisasi baik dari pemerintah, badan ekolabel maupun ASMINDO sesuai hasil uji hipotesis, sehingga banyak (79%) yang tidak memahami ekolabeling. Seperti hasil uji hipotesis H8, hal yang dapat menjadi hambatan ekolabeling adalah kesadaran produsen yang rendah terhadap lingkungan. Produsen hanya fokus pada orientasi bisnis saja, kurang peduli pada keberlanjutan produksi dan konsumsi.
3. Pembeli yang tidak mensyaratkan ekolabel dan sifat voluntary yang menyebabkan pilihan kepada tidak mensertifikatkan industrinya sampai pembeli menuntut persyaratan ekolabel.
4. Persepsi tersebut maka produsen cenderung tidak mau mensertifikatkan unit industrinya atau memilih mengalihkan ke pasar yang tidak mensyaratkan ekolabel. Hal ini membuat kontra produktif terhadap upaya ekolabeling pada industri furnitur di Jawa Tengah dan di Yogyakarta.
5. Berdasarkan hasil penelitian, tampak bahwa persepsi responden di Indonesia sangat berbeda dengan China. Pemerintah China juga sangat membantu industrinya dalam menguasai pasar dunia (Lee, 2011).Menurut Soenoto (2014), total ekspor mebel dunia sepanjang 2013 mencapai 124 miliar dolar AS.
Ekspor mebel Indonesia hanya mencapai 1,5 persen dari total tersebut, atau hanya 1,7 miliar dolar AS (peringkat ke 13). Posisi Vietnam mencapai ekspor sekitar 4,2 miliar dolar AS. Malaysia berada pada peringkat ke 8, dengan nilai ekspor 2,4 miliar dolar AS meskipun SDM dan SDA jauh lebih kecil dibandingkan Indonesia.
Menurut Indrawan (2014), Uni Eropa merupakan pasar terbesar ekspor furnitur dan kerajinan asal Indonesia, yakni 40 persen. Peringkat pasar ekspor kedua Amerika Serikat sebesar 29 persen dan Jepang 12 persen. Keunggulan produk kayu asal Indonesia antara lain berbahan kayu keras (solid wood), seperti kayu jati dan mahoni (Indrawan, 2014).
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kesimpulan
1. Ecolabel dapat merupakan strategi untuk meningkatkan daya saing industri furnitur di pasar internasional, selain harga dan kualitas tinggi.
2. Sebanyak 70% industri besar beranggapan bahwa biaya sertifikasi mahal tetapi perlu dilakukan karena merupakan tuntutan bisnis. Sertifikasi dianggap sebagai investasi.
3. Industri besar sebanyak 62% setuju bahwa sertifikasi ekolabel perlu dilakukan dengan pemilihan skema yang tepat. FSC-CoC dianggap pilihan terbaik.
4. Keterbatasan suplai bahan baku kayu bersertifikat membuat pilihan kepada Control Wood.
5. ASMINDO dan pemerintah berpengaruh terhadappemahaman ekolabel .
6. Pembeli berpengaruh signifikan, industri tidak paham karena pembeli tidak meminta syarat ekolabel.
7. Industri banyak (79%) yang tidak paham ecolabeling, membuat ekolabeling di Indonesia lamban jauh tertinggal dibanding negara-negara pesaing.
8. Sosialisasi ekolabel kepada industri tidak efektif, pemahaman cenderung negatif.
9. Industri yang memahami ekolabel tetapi tidak bersertifikat karena pembeli tidak mensyaratkan.
10. Kesadaran lingkungan produsen rendah, hanya 29% yang setuju menggunakan kayu bersertifikat ekolabel.
11. Pembeli (buyers) belum menunjukkan pentingnya kelestarian lingkungan yang ditunjukkan dengan sebanyak 53% pembeli berpengalaman membeli dengan CW, 50% membeli pure FSC, hanya 6% pembeli yang menempatkan ramah lingkungan sebagai variabel utama dalam transaksi.
Rekomendasi
1. Ecolabel mempunyai dampak positif signifikan terhadap hutan lestari, lingkungan industri, citra perusahaan, pangsa pasar, profit, dan kesejahteraan sosial. Perlu diseminasikan untuk meningkatkan pemahaman ecolabel secara benar.
2. Ecolabeling perlu terus didorong sebagai upaya meningatkan daya saing industri furnitur dipasar internasional, selain kualitas dan harga.
3. Ecolabeling hendaknya disikapi sebagai tantangan sekaligus peluang untuk meningkatkan pasar ekspor furnitur, perubahan tren perdagangan internasional yang menuntut komitmen produsen untuk produk ramah lingkungan melalui sertifikasi ecolabel.
Daftar Pustaka
Farida, Elfia.(1997).―Perlindungan Lingkungan Sebagai Strategi Meningkatkan Daya Saing Di Pasar Global.Diskusi Bagian Hukum Internasional. Fakultas Hukum Undip Semarang.
Ganguly dan Eastin.(2011). Economic and environmental aspects of China’s wood products industry, CNTRAFOR News. Seattle, USA.
Herry Purnomo, Rika Harini Irawati, dan Ririn Wulandari. (2011).Readiness in Jepara Furniture Manufacturers in Confront of Ecolabel Certification.
Huang,Yu.(2013).Global Legality Requirements and Chain of Custody Certification: Potential Impacts of Recent Changes on China’s Wood Products Industry.The University of British Columbia.Vancouver.
Indrawan. (2014).Peluang Ekspor Produk Kayu, Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo). Sumber: KOMPAS (Selasa, 18 Maret 2014). http://silk.dephut.go.id/index.php/article/vnews/73. Diakses tanggal 26/04/2014.
Lee, D. (2011). The Viability of China‟s Wood Furniture Industry. Prepared for FRST University BritishColumbia, p.497.
Lien, D.T(2013). Some Perspectives On fforts In Vietnam To Tackle Illegal Logging. Research Institute
For Sustainable Forest Management And Forest Certification (SFMI). Chatham House processing enterprises, p.393.
Ramdani, D.(1999). Komoditas Ekspor untuk Stimulasi Pemulihan Ekonomi, Buletin Bisnis dan Ekonomi Politik Jakarta. Jakarta: INDEF.
Salim, Emil.(2010).Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Santoso, H. Purwanto.(2013).―Ecolabel as an intrument of environmental management in the furniture industry in Central Java and Yogyakarta‖.The 13th International Conference On QiR. Program Book Vol.2 ISSN 1411-1284, Yogyakarta 25-28 June 2013.
Soenoto. (2014). Ekspor mebel Indonesia masih di bawah Malaysia dan Vietnam http://www.antaranews.com/berita/423360/ekspor-mebel-indonesia-masih-di-bawahmalaysia-dan vietnam.Diakses tanggal 26/04/2014.
Vidal, N.G.(2003). Chain of Custody: Current Status and Level of Know-ledge in The North American Solid Wood Sector.
Yuan, Y. dan Eastin, E.(2007). ―Forest Certification and Its Influence on the Forest Products Industry in China. Working Paper. p.110.
Sumber:
EKOLABEL SEBAGAI STRATEGI MENINGKATKAN DAYA SAING
STUDI KASUS PADA INDUSTRI FURNITUR KAYU
DI JAWA TENGAH DAN YOGYAKARTA
Haryo Santoso
Program Studi Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro