Pendahuluan
Pengelolaan hutan secara lestari pada sebagian besar areal Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) di Indonesia umumnya dilaksanakan dengan sistem silvikultur tunggal yaitu sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) berdasarkan SK Direktur Jenderal (Dirjen) Pengusahaan Hutan (PH) No. 151/Kpts/IVBPHH/1993 tanggal 19 Oktober 1993.
Pelaksanaan sistem silvikultur TPTI ini dianggap belum mampu mengimbangi peningkatan laju kebutuhan kayu pertukangan maupun untuk bahan baku industri lainnya karena terjadi penurunan produksi kayu bulat, penurunan luas dan kualitas hutan produksi.
Sehingga diperlukan upaya pembenahan yang nyata terhadap sistem pengelolaan hutan produksi di Indonesia yang dilakukan lebih intensif untuk meningkatkan produktivitas hutan alam produksi secara optimal dan lestari dengan melakukan keseimbangan dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Salah satu sistem silvikultur yang diterapkan
dalam pengelolaan hutan hujan tropis di Indonesia adalah dengan menggunakan sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dan Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII/TPTJ Intensif) (Dephut, 1998; 2005 dan 2009 a,b).
Sistem ini menerapkan penebangan dengan sistem tebang pilih dan penanaman pengayaan (enrichment planting) dengan penanaman jalur (strip planting) dengan teknik Silvikultur Intensif (SILIN). Metode ini dilakukan dengan
cara membuka jalur tanam selebar 3 meter (menebang tanaman dengan sistem lorong/jalur untuk kegiatan penanaman) dengan jarak tanam antar tanaman dalam jalur untuk TPTJ dan TPTII/TPTJ dengan teknik SILIN masing-masing 5 dan 2,5 m dan jarak antar jalur untuk TPTJ dan TPTII/ TPTJ Intensif masing-masing 25 dan 20 tahun (Na’iem and Faridah, 2006).
Metode Penelitian
Pengumpulan data dan informasi pada penelitian ini dilakukan melalui pengamatan lapangan, wawancara, study pustaka dan telaah dokumen hasil penelitian. Penulis juga melakukan penelitian lapangan dari tahun 2011 s.d 2014 dengan judul kegiatan penelitian kajian efektifitas sistem-sistem silvikultur TPTJ/TPTI/TR terhadap peningkatan
produktivitas hutan ditinjau dari aspek produksi/ekonomi, ekologi dan sosial dan analisis kelayakan finansial pengembangan usaha tanaman jenis Dipterokarpa (di hutan alam dengan sistem silvikultur intensif/TPTII).
Penelitian lapangan dan pengambilan data dilaksanakan pada empat lokasi IUPHHK Model Uji Coba Penerapan Sistem TPTII/TPTJ Intensif yaitu di PT. Sarminto Parakantja Timber Kalimantan Tengah, PT. Intraca Wood Manufacturing dan PT. ITCI Kayan Hutani di Kalimantan Timur dan PT. Suka Jaya Makmur di Kalimantan Barat. (B2PD, 2012).
Hasil
1. Kegiatan Penyiapan Lahan
Dari hasil pengamatan di lapangan bahwa tahapan penyiapan lahan di pada keempat IUPHHK-HA yang melaksanakan sistem silvikultur TPTJ-SILIN meliputi : a). Penataan Areal Kerja Ulang; b). Pembuatan dan pengukuran jalur tanam. Pembuatan dan pengukuran jalur tanam kegiatannya antara lain : merintis, mengukur, menandai atau mengecat dan mengolah data menjadi peta realisasi jalur; c). Rintis manual yang dibersihkan adalah
tumbuhan bawah, ranting dan semak belukar; d).
Tebang semi mekanis kegiatannya adalah membersihkan jalur selebar 3 m dengan menggunakan chainsaw, menebang pohon di atas 10 cm terutama non komersil maupun komersil yang tidak sehat; dan e). Pemasangan ajir dengan jarak tanam 2,5 m sesuai dengan jumlah bibit yang akan ditanam dan kegiatan ini sebaiknya bersamaan dengan tebang semi mekanis.
Kegiatan penyiapan lahan adalah faktor penentu awal didalam menciptakan kondisi lingkungan awal terhadap keterbukaan jalur tanam yang dibuat. Penyiapan lahan yang optimal akan menciptakan bukaan jalur yang terbuka sesuai lebar jalur yang ditetapkan dan terbebas dari pohon-pohon penaung yang melindungi tanaman untuk memperoleh kebutuhan cahaya maksimal.
2. Pemanfaatan Hasil Tebangan dalam Jalur Tanam
Kegiatan membuat jalur bersih vertikal selebar 3 (tiga) meter dilakukan dengan melakukan penyiapan lahan secara mekanis dan semi mekanis. Kegiatan ini dilakukan dengan melakukan penebangan terhadap tanaman hutan pada tingkat anakan, pancang, tiang (diameter 10 up) dan pohon (diameter 20 up) yang ditemui di dalam jalur tanam terutama jenis-jenis non komersil atau non meranti.
Hasil dari tebangan dalam jalur ini terutama pada tingkat tiang dan pohon secara umum tidak dimanfaatkan oleh perusahaan dengan beberapa alasan yaitu (1) kayu bulat berdiameter kecil tidak dimanfaatkan oleh perusahaan dan industri yang menampung kayu bulat hasil tebangan perusahaan yang belum memiliki alat pengolahan kayu berupa rotary diameter kecil; (2) biaya angkut atau transportasi untuk kayu bulat berdiameter kecil masih dianggap tidak ekonomis; (3) beberapa perusahaan tidak memiliki industri pengolahan langsung atau sebagai penjual kayu bulat saja.
Hasil tebangan yang tidak dimanfaatkan tersebut dapat menjadi kayu-kayu lapuk untuk memperkaya bahan organik pada tanah dibawahnya berfungsi untuk kesuburan tanah.
3. Dominasi Penanaman Jenis-Jenis tertentu
Pembangunan tegakan komersil dipterokarpa pada kawasan usaha IUPHHK diutamakan menggunakan jenis-jenis meranti yang cepat tumbuh, yang penyebarannya luas, telah dikuasai silvikultur penanamannya dan benihnya tersedia. Beberapa jenis meranti yang diprioritaskan untuk pembangunan hutan tanaman komersial antara lain Shorea leprosula, Shorea parvifolia, Shorea johorensis, Shorea ovalis, Shorea smithiana dan Shorea platyclados (Sakai dan Subiakto 2007).
Kenyataan yang ditemui di beberapa lokasi penerapan model sistem silvikultur TPTJ, jenis yang paling banyak ditanam pada jalur tanam adalah jenis meranti merah (Shorea leprosula Miq) karena jenis ini dapat tumbuh pada
berbagai jenis tanah dan termasuk salah satu jenis meranti yang pertumbuhannya cepat (Joker 2002).
Sehingga kecenderungannya akan mengarah kepada penanaman monokultur jenis meranti merah pada jalur tanam yang dibuat. Jalur tanam yang dibuat adalah 2,5 m. Kecenderungan penanaman dengan jenis yang sama dan jarak tanam yang cenderung rapat akan menimbulkan dampak bagi serangan hama dan penyakit seperti hasil penelitian yang ditunjukkan oleh Ngatiman dan Cahyono (2014) bahwa jarak antar tanaman hanya 2,5 m itu menjadi salah satu penyebab penyebaran serangan rayap pada tanaman berjalan dengan cepat.
Meskipun dari hasil penelitian menunjukkan bahwa serangan rayap pada tanaman terjadi pada umur 5 tahun ke atas. Seperti hasil penelitian tentang serangan rayap pada tanaman monokultur pohon S. leprosula yang mati akibat diserang rayap tingginya berkisar 5,5-13,8 m dan diameter berkisar 6,2-20 cm pada umur 7-8 tahun, sedangkan di PT. Inhutani II, Pulau Laut, Kalimantan Selatan pohon S. leprosula yang mati akibat diserang rayap tingginya bekisar 7- 12 m dan diameternya berkisar 9,6-14,1 m pada umur 6 tahun (Ngatiman, 2012).
4. Kegiatan Penyiapan Bibit
Ada 3 cara yang dilakukan dalam penyiapan bibit dalam rangka memenuhi kebutuhan bibit pada kegiatan penanaman sistem silvikultur TPTJ dengan teknik SILIN di IUPHHK-HA antara lain :
a) Biji
Penyediaan bibit yang berasal dari biji hanya dapat dilakukan jika pohon meranti sudah berbuah. Masa panen meranti tidak terjadi setiap tahun, sehingga penyediaan bibit yang berasal dari biji juga tidak dapat dilakukan setiap tahun. Masa panen meranti yang terbesar di PT Sarpatim terjadi pada tahun 2004 – 2005, Sedang di PT Intraca Wood Manufacturing panen raya terbesar di tahun 2008.
Biji yang diperoleh saat masa panen kemudian di semai di polybag yang berisikan media kompos dan top soil dengan perbandingan 1 : 2. Bibit hasil semai dari biji yang sudah berumur sekitar 1 tahun kemudian diseleksi untuk keseragaman dan dihardening secara bertahap dari 65% sampai 100% sebelum dilakukan penanaman (Karmilasanti dan Wiati, 2013).
b) Cabutan (Anakan Alam)
Penyediaan bibit yang berasal dari cabutan merupakan kegiatan utama yang dilakukan di persemaian pada keempat IUPHHK tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan bibit, untuk tujuan penanaman operasional pada sistem silvikultur
TPTJ pada keempat IUPHHK tersebut dengan kisaran materi cabutan sebanyak 80.000 – 100.000 batang per bulan.
Untuk memenuhi kebutuhan tersebut kisaran ketersediaan materi cabutan sekitar 3.000 – 5.000 batang per hari. Materi cabutan yang diambil umumnya mempunyai jumlah daun sebanyak 8 helai. Sedangkan menurut Silalahi (2011) ciri-ciri anakan meranti yang baik untuk cabutan yang berlaku sesuai dengan kriteria di PT Sari Bumi
Kusuma adalah: (1) berbatang lurus dan diameter pangkal batangnya 3-4 mm, (2) tinggi bibit meranti adalah kurang lebih 30 cm, (3) percabangannya minimalis, (4) perakarannya lurus dan (5) bebas dari hama penyakit.
c) Vegetatif (Stek)
Pada dasarnya penyediaan bibit yang berasal dari vegetatif oleh IUPHHK yang menggunakan sistem silvikultur TPTJ dengan teknik SILIN. Perbanyakan bibit ditujukan untuk membantu mengejar target jumlah penyediaan bibit untuk kegiatan operasional. Penyediaan bibit yang berasal dari stek selain digunakan untuk kegiatan operasional juga ditujukan untuk pembangunan kebun pangkas.
Untuk kegiatan operasional bibit yang berasal dari stek diperoleh dengan cara stek bergulir. Materi stek bergulir dapat diperoleh dari 2 (dua) sumber yaitu bibit cabutan yang siap tanam dan kebun pangkas. Penggunaan bibit stek bergulir dari cabutan lebih disukai karena mempunyai persentasi hidup yang lebih tinggi yaitu 70% dibanding yang berasal kebun pangkas yang hanya mencapai 50%.
Hasil peneletian menunjukkan bahwa pada semua tingkat umur, bibit S. leprosula memiliki nilai kekokohan > 10, RPA > 2,5, dan IMB > 0,25. Hal ini berarti bahwa semua nilai parameter kualitas fisik bibit S. leprosula asal stek pucuk yang diperbanyak dengan sistem KOFFCO lebih besar dibandingkan nilai parameter kualitas fisik bibit jenis-jenis tanaman hutan lainnya (Junaedi et al., 2010).
Dampak Sosial Ekonomi Terhadap Kegiatan TPTJ-SILIN
Hasil penelitian menunjukkan Pelaksanaan TPTJ-Silin berdampak pada meningkatnya penyerapan tenaga kerja dan pendapatan masyarakat lokal. Efektif untuk penyerapan tenaga kerja, karena setiap tahapan kegiatannya memerlukan tenaga kerja. Akan tetapi belum tentu tenaga kerja yang dimaksud adalah masyarakat lokal, karena tidak semua masyarakat lokal memiliki minat kerja di hutan.
Masyarakat lokal lebih banyak bekerja pada tahapan pembukaan wilayah hutan, rintis manual dan penyiapan lahan sedang untuk penyiapan bibit di persemaian dan penanaman lebih banyak diminati oleh masyarakat pendatang. Sedangkan Biaya investasi langsung dalam pelaksanaan TPTJ-Silin masih dalam nilai yang wajar. Hasil Analisis finansial pelaksanaan TPTJ-Silin berada pada tingkat yang wajar.
Efektif karena biaya per hektarnya masih mampu memenuhi biaya operasional, tenaga kerja dan pemeliharaan tanaman (Wahyuni, T dan Indriyanti, S.Y, 2015 dan Karmilasanti, 2017). Dari beberapa hasil uji coba penerapan sistem silvikultur tersebut terdiri dari komponen-komponen kegiatan yang berhubungan dengan pembiayaan dan investasi.
Investasi dengan membudidayakan tanaman hutan seperti meranti termasuk kategori high risk high return. Artiny investasi di sektor ini dapat menghasilkan keuntungan yang sangat besar. Namun, jika tidak dilakukan dengan baik, resiko kegagalan yang dihadapi juga cukup besar.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
1. Kegiatan penyiapan lahan melalui pembukaan jalur dan optimal terhadap tanaman pada sistem silvikultur TPTJ memerlukan biaya yang lebih besar jika dibandingkan dengan TPTI.
2. Pemanfaatan hasil tebangan dalam jalur tanam yang tidak dapat dimanfaatkan karena beberapa alasan, dapat menjadi limbah yang bermanfaat apabila dicacah sekecil-kecilnya dan apabila menjadi busuk, lapuk dan terdekomposisi, berfungsi sebagai bahan organik untuk kesuburan tanah.
3. Kecenderungan penanaman jenis-jenis yang seragam memberi peluang tanaman di jalur tanam terkena serangan hama penyakit (rayap).
4. Pembukaan jalur yang tanpa pemeliharaan rutin dapat menyebabkan munculnya gulma, gulma yang banyak bersifat menyaingi dan menghambat pertumbuhan tanaman dalam jalur tanam.
5. Kegiatan penyiapan bibit untuk kebutuhan penanaman jalur sistem silvikultur TPTJSILIN harus mampu memproduksi bibit dalam skala besar melalui perbanyakan vegetatif (stek) dan di masa depan diharapkan mampu menyediakan bibit unggul dari hasil pemuliaan pohon induk di dalam wilayah kerjanya.
6. Pelaksanaan TPTJ-SILIN berdampak pada meningkatnya penyerapan tenaga kerja dan pendapatan masyarakat lokal karena kuantitas kegiatan yang bertambah.
7. Hasil Analisis finansial pelaksanaan TPTJSilin proporsional, karena biaya per hektarnya masih mampu memenuhi biaya operasional, tenaga kerja dan pemeliharaan tanaman.
Saran
Untuk efektivitas dan keberhasilan kegiatan TPTJ-SILIN, perlu memperhatikan beberapa hal :
1. Asal bibit yang ditanam perlu diperhatikan dari segi kualitasnya agar mengurangi resiko kematian bibit yang tinggi.
2. Perlu bukaan jalur awal yang optimal untuk mengurangi biaya pemeliharaan rutin di jalur tanaman.
Daftar Pustaka
Junaedi A., Asep Hidayat, dan Dodi Frianto. 2010. Kualitas Fisik Bibit Meranti Tembaga (Shorea leprosula Miq.) Asal Stek Pucuk pada Tiga Tingkat Umur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol VII No.3 Hal 281-288.
B2PD (Balai Besar Penelitian Dipterokarpa). 2012. Kajian Efektifitas Sistem-sistem Silvikultur TPTJ/TPTI/TR Terhadap Peningkatan Produktivitas Hutan Ditinjau Dari Aspek Produksi/Ekonomi, Ekologi dan Sosial. Laporan Hasil Penelitian Dipterokarpa, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Samarinda.
B2PD (Balai Besar Penelitian Dipterokarpa). 2012. Analisis Kelayakan Finansial Pengembangan Usaha Tanaman Jenis Dipterokarpa (Hutan Alam dengan Sistem TPTI). Laporan Hasil Penelitian Balai Besar Penelitian Dipterokarpa – Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan – Kementerian Kehutanan. Samarinda.
B2PD (Balai Besar Penelitian Dipterokarpa). 2013. Analisis Kelayakan Finansial Pengembangan Usaha Tanaman Jenis Dipterokarpa (Di Hutan Alam dengan Sistem Silvikultur Intensif/TPTII). Laporan Hasil Penelitian Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Samarinda.
Departemen Kehutanan. 1998. SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 625/KPTSII/1998 tentang : Sistem Silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Jalur (TPTJ) Dalam Pengelolaan Hutan Produksi Alam, Departemen Kehutanan, Jakarta.
Departemen Kehutanan. 2005. SK Dirjen Bina Produksi Kehutanan No 77/VI-BPHA/2005 tentang pemegang IUPHHK-HA sebagai model sistem silvikultur TPTII (Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif) pada 6 (enam) IUPHHK yaitu PT Sari Bumi Kusuma, PT Erna Djuliawati dan PT. Sarpatim (Kalteng); PT. Suka Jaya Makmur (Kalbar); PT. BFI dan PT. Ikani (Kaltim).
Departemen Kehutanan. 2005. SK Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan SK No: SK.226/VI-BPHA/2005 tentang: Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif (TPTII), Departemen Kehutanan, Jakarta. Departemen Kehutanan. 2009a. Peraturan Menteri Kehutanan No: P. 11/Menhut-II/2009 tentang: Sistem Silvikultur Dalam Areal Izin Usaha.
Joker D. 2002. Informasi Singkat Benih: Shorea leprosula Miq. Jakarta (ID): Direktorat Perbenihan Tanaman Kehutanan, Departemen Kehutanan Republik Indonesia.
Karmilasanti dan Wiati.,C.B., 2013. Penyediaan Bibit Dalam Pelaksanaan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Di PT Sarmiento Parakantja Timber. Prosiding Restorasi Ekosistem Dipterokarpa dalam Rangka Peningkatan Produktivitas Hutan, Samarinda, 22 Oktober 2013.
Karmilasanti, 2017. Hubungan Manipulasi Lingkungan Dengan Teknik SILIN Dengan Upaya Teknik Silvikultur Untuk Rehabilitasi Hutan Rawang. Prosiding Seminar Optimalisasi Peran Litbang dan Inovasi dalam Mendukung Kesejahteraan Masyarakat Di Dalam dan Sekitar Hutan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi. Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Ekosistem Hutan Dipterokarpa. Samarinda 22 Mei 2017.
Na’iem, M. dan E. Faridah, 2006. Model im Intensive Enrichment Plating (TPTII). In A.Rimbawanto (ed): Silviculture System Of Indonesia’s Dipterocarps Forest Management: A Lesson Learned, Faculty of Forestry GMU
and International Tropical Timber Organization. Indonesia, pp. 25-36.
Ngatiman. 2012. Rayap tanah Coptotermes Sp. hama potensial pada tegakan meranti merah (Shorea leprosula Miq). Prosiding Ekspose Hasil Penelitian. Rekontruksi Pengelolaan Hutan Alam Produksi. Tinjauan aspek teknis Silvikultur, Sosial Ekonomi, Ekologi dan Kebijakan. Balai Besar Penelitian Dipterokarpa, Samarinda.
Ngatiman, Susanty FH. 2016. Teknik pengendalian gulma terhadap pertumbuhan Shorea leprosula miq. dan S. Johorensis foxw. di KHDTK Labanan, Kabupaten Berau. Prosiding Seminar Nasional Silvikultur. Agustus 2015. Bogor.
Ngatiman dan Cahyono., D.D.N., 2017. Serangan Rayap Coptotermes Sp. Pada Tanaman Shorea Leprosula Miq. Di PT Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Jurnal Penelitian Ekosistem Dipterokarpa Vol 3 No.1, Juli 2017. Hal 33-42.
Pamoengkas P. 2006. Kajian Aspek Vegetasi dan Kualitas Tanah Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur (disertasi). Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Soekotjo. 2009. Teknik Silvikultur Intensif. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Wahyuni, T dan Indriyanti, SY. 2012. Pengelolaan Persemaian dan Perhitungan Biaya Pengadaan Bibit Jenis-jenis Dipterokarpa. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian, Rekonstruksi Pengelolaan Hutan Alam Produksi: Tinjauan
Aspek Teknis Silvikultur, Sosial Ekonomi, Ekologi dan Kebijakan, Samarinda 13 Nopember 2012. Wahyuni, T. 2014. Analisis Finansial Budidaya Dengan Sistem Silvikultur TPTI dan TPTJ. Buku Shorea leprosula Miq dan Shorea
johorensis Foxw: Ekologi, Silvikultur, Budidaya dan Pengembangan. Balai Besar Penellitian Dipterokarpa. 2014
Wahyuni, T dan Indriyanti, SY. 2015 Analisis Finansial Usaha Pengembangan Jenis Dipterokarpa Dengan Sistem tebang Pilih Tanam Indonesia. Jurnal Dipterokarpa, Vol. 1 No.1, Juli 2015
Widiyatno; Soekotjo; Suryatmojo, H; Supriyo, H, Purnomo, S dan Jatmoko. 2014. Dampak Penerapan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur Terhadap Kelestarian Kesuburan Tanah Dalam Menunjang Kelestarian
Pengelolaan Hutan Alam. Jurnal Manusia dan Lingkungan, Vol. 21, No.1, Maret 2014. 50- 59.
Sumber:
EVALUASI KEGIATAN PENERAPAN
SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ)
DENGAN TEKNIK SILVIKULTUR INTENSIF (SILIN) DI KALIMANTAN
THE EVALUATION OF TRIAL IMPLEMENTATION OF SELECTIVE LOGGING
WITH LINE PLANTING IN FOREST CONCESSIONS IN KALIMANTAN
Oleh:
Karmilasanti dan Tien Wahyuni
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Ekosistem Hutan Dipterokarpa, Samarinda