Menurut Head of Project and Development Programme for Endorsement of Forest Certification Council Sarah Price, produk yang memiliki logo dan sertifikasi menjadikan produk kehutanan lebih mudah diterima di negara-negara maju. Seperti produk yang bersertifikat PEFC, yang menandakan produk tersebut berasal dari hutan yang dikelola secara lestari. Logo tersebut juga membuktikan rantai pasok tersebut telah diaudit, sehingga pembeli mengetahui asal produk.”Menigngkatkan penerapan sertifikasi hutan di Indonesia mempunyai peran signifikan dalam memperluas pasar produkhutan Indonesia,” ujar dia dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (7/5/2014).
Menurut Price, berdasarkan survey, logo PEFC sudah dikenal di sejumlah negara. Diantaranya, Australia 15% masyarakatnya  sudah mengenal logo PEFC, Tiongkok 29%, Perancis 20%, dan India 15%. Jumlah masyarakat yang mengenal logo PEFC juga terus bertambah. Pada 2012 baru 18% dan naik menjadi 23% di tahun berikutnya.
Sedangkan negara yang telah menerapkan sertifikasi PEFC di Asia, yaitu Malaysia, Jepang, Tiongkok, dan Turki. Selanjutnya akan menyusul Amerika Latin dan Amerika Utara. “Di Indonesia, PEFC belum ada. Kami berharap, pelaku usaha mulai menerapkannya,” kata dia.
Selama ini, pelaku usaha kehutanan nasional juga telah menerapkan standar dari lembaga sertifikasi kehutanan internasional lainnya. Namun, standar tersebut dibangun dari luar dan diterapkan di Indonesia. Sedangkan standar PEFC akan dibangun di Indonesia, dengan melibatkan multi stakeholders dalam negeri. Itu dimaksudkan agar pasar diluar negeri lebih memahami terhadap kondisi Indonesia.
Di Indonesia PEFC menjalin kerjasama dengan Indonesian Foresttry Certification Cooperation (IFCC). Menurut konsultan IFCC Nurcahyo Adi, pemerintah memang telah memberlakukan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Namun, sertifikasi tersebut lebih condong kepada legalitas, sedangkan PEFC lebih kepada kelestarian dan tingkatnya diatas legalitas. “Sebab, untuk memperoleh sertifikasi kelestarian, pelaku usaha harus memenuhi legal complianceII,” jelas dia.
Selain itu, PEFC jangkauannya lebih luas karena berlaku secara internasional. Sedangkan SVLK lebih banyak terfokus pada ekspor produk kayu Indonesia ke Uni Eropa.
Saat ini, pihaknya baru membuat standar bagi pelaku hutan alam dan hutan tanaman skala besar. Ke depan, PEFC juga berencana membuat standar bagi hutan tanaman rakyat (HTR) karena memiliki skema tersendiri dan pendekatan yang berbeda. “HTR tidak bisa disamakan dengan standar hutan alam dan hutan tanaman karena interprestasi dan orang (pelaku usahanya) berbeda,” papar Nurcahyo.
Lebih Tinggi
Sementara itu, Sekjen Kementerian Kehutanan (Kemenhut) Hadi Daryanto mengatakan, Indonesia telah memiliki SVLK yang merupakan mandatory bagi seluruh pelaku usaha kehutanan di Indonesia. Sertifikasi tersebut semakin lengkap jika pelaku usaha menerapkan Reduce Impact Logging (RIL/pembalakan ramah lingkungan). “Sertifikasi itu sudah bagus dan cukup bagi pelaku usaha kehutanan di Indonesia,” ujar dia.
Menurut dia, pelaku usaha tidak membutuhkan sertifikasi lainnya karena akan membebani pelaku usaha. Selain itu, lembaga-lembaga sertifikasi yang menawarkan produk serupa umumnya hanya bertujuan bisnis semata.
Sumber: AGROINDONESIA (Vol. IX, No. 497, 13-19 Mei 2014)
MK Academy – Gedung Graha Pool, Jl Merdeka No 110 Kota Bogor
Whatsapp/HP 0813-1517-8523 | Telp 0251 8570150
Email : info@mktraining.co.id | info@mkacademy.id
Social Media : IG @mkacademy.id | FB hidayatMKacademy | Tiktok @mkacademy22