Teach Like Finlandia (Kesejahteraan Part 1) – Kami pindah ke Helsinki di akhir Juli, dan sebelum sekolah mulai di pertengahan Agustus, saya dan keluarga meluangkan waktu di malam hari berjalan-jalan keliling kota kami yang baru itu.
Di setiap taman yang saya kunjungi, seingat saya, ada suatu pemandangan yang tidak biasa: puluhan orang tidak melakukan apapun selain duduk-duduk, memaikai kain untuk menghangati badan, minum anggur, dan bercakap-cakap.
Mereka tidak terburu-buru, kelihatannya, untuk mengerjakan sesuatu. Mereka hanya menikmati kehangatan malam yang cerah itu dengan teman dekat mereka.
Kehidupan di Finlandia tampak lebih lambat daripada hidup yang saya alami di Amerika.
Dan saya mengakuinya, setelah tinggal di Boston yang penuh dengan energi, saya mulai tertarik dengan atmosfer yang tenang di Helsinki – namun demikian saya tetap skeptis dengan cara hidup seperti ini.
Apa sebenarnya yang ingin diraih orang-orang ini pada akhirnya, saya bertanya-tanya, hanya bersantai berjam-jam di balik selimut?
Meskipun saya begitu kewalahan di tahun pertama mengajar saya, ideologi ini masih terngiang di telinga saya – bertahun-tahun berikutnya di Helsinki – bahwa nilai diri saya diukur dengan produktivitas saya.
“Tim, kamu adalah tuan pekerjaan dan bukan dipertuan pekerjaan”, seorang mentor guru di Boston dulu sering mengingatkan saya. Bahkan di Finlandia, kata-kata tersebut masih perlu saya dengar.
Saya berpikir bahwa kehidupan yang lambat di negara Nordic yang kecil ini pada akhirnya mulai mengubah saya, karena di minggu-minggu awal mengajar di Helsinki saya mencoba untuk lebih mengurangi pekerjaan setelah jam sekolah.
Ketika saya pulang agak larut, saya meninggalkan semua pekerjaan sekolah di tas punggung saya (sesuatu yang pada awalnya terasa dibuat-buat) sehingga saya bisa mencurahkan perhatian saya untuk bermain dengan anak saya, berumur 1 tahun dan meluangkan waktu untuk istri saya.
Di Helsinki, saya mulai merasa menjadi manusia yang sebenarnya, tapi saya mengakui bahwa sekolah memiliki kisah yang berbeda.
Pada awalnya saya tidak siap untuk mengadopsi pendekatan yang berbeda dalam pekerjaan saya sebagai guru. Dan rekan kerja Finlandia saya mulai memperhatikan.
Sama seperti yang pernah dikatakan istri saya, di sekolah Helsinki, saya menyaksikan istirahat 15 menit yang sering setiap hari, dan biasanya teman-teman guru menghabiskan waktu istirahat di tempat rehat guru.
Namun, bahkan setelah 3 minggu di sekolah saya masih belum terbiasa menikmati 2 menit di ruang istirahat dan bersantai dengan rekan saya lainnya.
Saya hanya masuk ruang itu untuk mengecek surat elektronik yang masuk setiap pagi, kemudian saya langsung berjalan ke kelas saya.
Sesaat memasuki tempat istirahat, saya melihat sesuatu yang mirip dengan apa yang saya temukan ketika berkeliling taman di pusat kota Helsinki.
Banyak rekan guru yang sedang menyeruput kopi, membolak balik surat kabar, dan bercakap-cakap santai satu dengan lainnya.
Dan, beberapa kali, ketika saya melewati tempat itum saya mendengar mereka tertawa berbahak-bahak. Saya pun mulai curiga jangan-jangan mereka semua malas.
Di bulan September, di minggu kedua, tiga rekan Finlandia saya mengatakan kalau mereka mencemaskan konidisi saya yang mulai kelelahan, karena mereka tidak pernah melihat saya di lounge.
Saya mengaku kepada mereka kalau saya menghabiskan 15 menit saya di dalam kelas, bekerja keras menyelesaikan berbagai kewajiban mengajar. Mereka bertiga menyarankan agar saya mengubah rutinitas itu.
Saya langsung tertawa mendengar saran mereka. Saya mengatakan kepada mereka kalau memang saya mulai kecapekan, namun saya yakinkan mereka kalau saya akan baik-baik saya.
Tetap mereka ngotot: mereka serius soal pentingnya beristirahat beberapa kali dalam satu hari.
Salah satu rekan kerja saya mengatakan bahwa dia perlu meluangkan waktu beberapa menit setiap hari di tempat istirahat, mengendurkan syaraf dengan guru lainnya. Dia mengklaim kalau itu membuatnya jadi seorang guru yang lebih baik.
Saat itu, saya merasa sangat bingung karena keinginan kuat saya untuk bekerja tanpa henti – sering mengorbankan kesejahteraan saya dalam durasi yang pendek – tidak terlihat sebagai sesuatu yang didukung banyak rekan guru Finlandia.
Saya selalu percaya bahwa pendidik yang baik adalah mereka yang bekerja paling keras, bahkan jika itu berarti tidur beberapa jam saja, melewatkan makan siang dan waktu istirahat demi mempersiapkan pelajaran dan tidak pernah punya waktu untuk bersosialisasi dengan rekan kerja lainnya.
Banyak guru yang paling saya hormati di Amerika Serikat memiliki semangat yang berkobar-kobar atas profesi mereka, sama seperti saya, tetapi itu justru tampak sebagai bentuk kerjaan yang berlebihan.
Tetapi di Helsinki, saya tidak melihat rekan-rekan Finlandia saya bekerja saat istrihat makan siang atau bersembunyi di kelas mereka sepanjang hari. Hampir selalu mereka kelihatan relatif lebih bebas dari tekanan dibandingkan dengan apa yang saya lihat di sekolah-sekolah Amerika.
Dan yang mengejutkan, pada siswa siswi mereka juga.
Saya telah mendengar beberapa kritik datang dari model pendidikan Finlandia yang mengatakan bahwa 1 alasan mendasar mengapa Amerika Serikat tidak bisa belajar dengan negara Nordic kecil ini adalah perbedaan budaya.
Tetapi saya justru berpikir inilah area yang dapat kita pelajari dari sekolah Finlandia. Sebagai seorang Amerika, prioritas kultur kami – yang tampaknya mengajarkan bahwa, pada akhirnya, mengejar kesuksesan adalah hal yang paling berarti dalam hidup – secara luar biasa menggerogoti kesejahteraan kami dan konsekuensinya, kesejahteraan anak-anak bangsa kami.
Dorongan bagi anak-anak Amerika untuk menjadi sukses, banyak diantaranya, dimulai sejak mereka masih bayi, khususnya di kalangan keluarga-keluarga kaya.
Orang tua membelikan kartu dan permainan edukasi, dan anak-anak balita mereka diasuh di kelompok bermain atau institusi sekolah terbaik yang biayanya bisa menyentuh angka di atas USD 30.000/Rp 400 juta an setahun, demi memberikan anak-anak mereka pendidikan akademik di usia dini.
Jumlah orangtua yang menyekolahkan anak mereka di taman kanak-kanak menurun, mereka dipengaruhi konsep yang oleh para peneliti tersebut redshirt, sehingga anak-anak mereka setahun lebih tua dan harapannya lebih berkembang.
Jadwal Istirahat Otak
Seperti zombie, Sami – salah satu murid kelas 5 saya – berjalan gontai mendekati saya dan mengeluh “Rasanya saya akan meledak! Saya tidak terbiasa dengan jadwal ini”. Dan saya memercayainya. Ruam kemarahan mulai terbentuk di keningnya.
Astaga, saya pikir, sungguh cara yang tepat untuk memulai tahun pertama saya mengajar di Finlandia.
Itu baru hari ketiga sekolah, dan saya sudah mendorong seorang siswa untuk melampaui batasnya, saya segera tahu mengapa dia begitu jengkel.
Dalam minggu pertama sekolah, saya terlalu kreatif mengubah jadwal pelajaran kelas 5. Jika anda ingat, anak-anak di Finlandia terbiasa punya istirahat 5 menit setiap 45 menit pelajaran.
Selama jam istirahat tertentu, anak-anak keluar untuk bermain dan bersosialisasi dengan teman-teman mereka.
Saya tidak menyadari pentingnya pitstop/jeda ini. Sebagai guru di Amerika Serikat, saya biasa mengajar berjam-jam di kelas tanpa henti.
Dan saya sedang mencoba menerapkan model ini di Finlandia. Orang Finlandia terlihat lunak dan saya percaya bahwa anak-anak belajar lebih baik dengan jam pelajaran yang lebih lama.
Jadi saya memutuskan untuk menahan mereka tetap di kelas, tidak beristirahat seperti biasanya, dan mengajar 2×45 menit secara berturut-turut, diikuti 2 kali istirahat selama 3o menit. Sekarang saya tahu mengapa muncul titik-titik merah di kening Sami.
Ketika saya merenungkannya, saya mulai ragu apakah pendekatan Amerika benar-benar berhasil. Siswa saya di Amerika selalu terlihat menyeret kakinya setelah sekitar 45 menit di dalam kelas.
Namun mereka tidak pernah berpikir untuk memberontak seperti kelas 5 di Finlandia ini, yang tetap bertahan dengan pendiriannya dihari ketiga sekolah. Di saat itulah, saya memutuskan untuk menerapkan jam istirahat model Finlandia.
Awalnya saya merasa bahwa saya telah membuat sebuah penemuan baru: istirahat dengan frekuensi yang cukup membuat siswa tetap segar seharian. Tetapi kemudian saya ingat bahwa para guru telah memberi waktu istirahat untuk siswanya sejak tahun 1960 an.
Beberapa siswa, saya temui, membutuhkan istirahat lebih sering dari pada teman-teman mereka lainnya. Satu cara untuk mengakomodasi anak-anak ini adalah dengan memberi suatu tempat di kelas dimana murid dapat beristirahat.
Seorang peneliti, Amanda Moreno, telah mencatat manfaat dari sesuatu yang disebut “Calm Spot” para guru berkata kepada Moreno bahwa dengan adanya hal tersebut beberapa murid mereka tidak pernah mengantuk lagi selama pelajaran.
Sebuah langkah yang bijak untuk berbicara dengan siswa Anda tentang bagaimana Anda berada dalam sebuah misi untuk membantu mereka belajar lebih baik dengan memasukkan beberapa istirahat dalam satu hari sekolah.
Dan bagaiman anda membutuhkan masukan mereka untuk menyusun waktu pilihan yang ideal. Sikap ini tidak hanya akan mendorong anak merasa perlu belajar tetapi juga akan menghasilkan wawasan yang bernilai.
Referensi
- Adler, A. (2015, April 30). Gross national happiness and positive education in Bhutan. IPEN Blog. Diakses pada 20 Oktober 2016, dari http://www.ipositive-education.net/gross-national-happiness-and-positive-education-in-bhutan/
- Allen, J. G., MacNaughton, P., Satish, U., Santanam, S., Vallarino, J., & Spengler, J. D. (2016). Associations of cognitive function scores with carbon dioxide, ventilation and volatile organic compund exposures in office workers: A controlled exposure study of green and conventional office environments. Enviromental Health Perspectives, 124(6), 805-812. http://dx.doi.org/10/1289/ehp.1510037
- Anderson, M. (2010). The well balanced teacher: How to work smarter and stay sane inside the classroom and out. Alexandria, VA: ASCD.
- APA (American Psychological Association). (2014, August 8). Musical training offsets some academic achievement gaps, research says. Science Daily. Diakses pada 22 September 2016, dari https://www.sciencedaily.com/releases/2014/08/140808110024.htm
- Cherry, K. (2016a, March 15). Five ways to achive flow. Very Well. Diakses pada 20 Oktober 2016, dari https://www.verywell.com/ways-to-achive-flow-2794769
- Cherry, K. (2016b, May 6). What is flow? Very Well. Diakses pada 20 Oktober 2016, dari https://www.verywell.com/what-is-flow-2794768
- Cheryan, S., Ziegler, S.A., Plaut, V.C., & Meltzoff, A. N. (2014). Designing classroms to maximize student achievement. Policy Insights from the Behavioral and Brain Sciences, 1(1), 4-12. http://dx.doi.org/10.1177/2372732214548677
- Connelly, C. (2016, January 3). Turns out monkey bars and kickball might be good for the brain. National Public Radio. Diakses pada 19 Oktober 2016, from http://www.npr.org/sections/ed/2016/01/03/460254858/turns-out-monkey-bars-and-kickball-are-good-for-the-brain
- Davis, L. C. (2015, August 31). When mindfulness meets the classroom. The Atlantic. Diakses pada 20 Oktober 2016, from http://www.theatlantic.com/education/archive/2015/08/mindfulness-education-schools-meditation/402469/
- Deruy, E. (2016, May 20). Does mindfulness actually work in schools? The Atlantic. Diakses pada 20 Oktober 2016, from http://www.theatlantic.com/education/archive/2016/05/testing-mindfulness-in-the-early-years/483749
- Elmers, J., & Kneyber, R (Eds.). (2016). Flip the system: Changing education from the ground up. Londong: Routledge.
- Ferlazzo, L. (2016, August 8). Response: starting the new year by ‘building relationships’. Education Week Teacher. Retrieved on October 23, 2016, from http://blogs.edweek.org/teachers/classroom_qa_with_larry_ferlazzo/2016/08/response_starting_the_new_year_by_building_relationships.html
- Ferlazzo, L. (in press). Education Week Teacher.
- Finnish National Board of Education. (2016). National Core Curriculum for basic Education 2014. Helsinki: Next Print
Sumber:
Judul: Teach Like Finland (Mengajar Seperti Finlandia)
Penulis: Timothy D. Walker
Penerbit: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Juli 2017