Indonesia telah menetapkan komitmen besar dalam menghadapi perubahan iklim. Dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (E‑NDC) Indonesia 2022, Indonesia menargetkan pengurangan emisi nasional sebesar 32 % secara tidak bersyarat dan 43 % secara bersyarat pada tahun 2030. Selain itu, target jangka panjangnya adalah mencapai net‑zero emissions pada tahun 2060 atau lebih cepat. Sektor industri menjadi sangat sentral dalam pencapaian target ini, karena saat ini industri menyumbang sekitar 34 % dari total emisi nasional di Indonesia. Sektor industri juga menyumbang sekitar 18,9 % dari PDB dan mempekerjakan sekitar 19,3 juta pekerja. Dengan demikian, dekarbonisasi industri termasuk subsektor semen dan baja bukan hanya “opsi” tetapi keniscayaan untuk Indonesia supaya target net‑zero bisa tercapai. Namun, penerapan di lapangan menghadapi berbagai tantangan besar.
Artikel ini akan mengurai:
- Kenapa industri semen dan baja termasuk prioritas,
- Solusi‑teknologi dan kebijakan yang bisa diambil, serta
- Tantangan yang harus dihadapi agar transformasi tersebut berhasil.
Industri Semen dan Baja: Prioritas Dekarbonisasi
Industri Semen
Industri semen masuk ke dalam prioritas dekarbonisasi karena intensitas emisinya yang tinggi. Menurut laporan, untuk 1 ton semen tradisional, emisi CO₂ bisa sangat besar karena proses pembakaran klinker, penggunaan energi batu bara, dan transformasi kimiawi (kalsinasi). Contoh kebijakan: industri semen di Indonesia telah beralih ke “green cement” seperti Portland Composite Cement (PCC) dan Portland Pozzolana Cement (PPC) – yang substitusi klinker dengan bahan tambahan lainnya – sehingga emisinya turun hingga 26 % menurut perkiraan. Kementerian Kementerian Perindustrian Republik Indonesia juga sedang menyusun roadmap dekarbonisasi khusus untuk industri semen yang akan diterapkan melalui regulasi pada 2025.
Industri Baja
Sektor baja juga termasuk industri berat dengan intensitas energi dan karbon tinggi, terutama bila menggunakan proses tradisional seperti Blast Furnace‑Basic Oxygen Furnace (BF‑BOF). Laporan ASEAN Centre for Energy menyebut bahwa dekarbonisasi sektor baja di Indonesia akan sangat menantang, mengingat banyak investasi baru masih memakai teknologi BF. Percepatan dekarbonisasi baja juga mendapat dukungan dari Organisation for Economic Co‑operation and Development (OECD) melalui “Framework for Industry’s Net‑Zero Transition” yang mencakup sektor besi dan baja di Indonesia.
Solusi dan Strategi Dekarbonisasi Industri
Untuk mencapai transformasi industri yang rendah karbon, beberapa strategi utama telah diidentifikasi dalam roadmaps nasional maupun studi independen:
- Efisiensi energi dan material Memperbaiki efisiensi dalam penggunaan energi (misalnya mengganti burner, pemulihan panas sisa) dan penggunaan material (mengurangi penggunaan klinker dalam semen, meningkatkan daur ulang baja) adalah langkah awal yang relatif lebih cepat dan lebih murah dibandingkan transformasi teknologi besar.
- Switching bahan bakar dan elektrifikasi Mengganti batu bara atau bahan bakar fosil dengan bahan bakar rendah karbon (biomasa, gas alam, hidrogen) atau menggunakan listrik yang bersih (dari energi terbarukan) untuk proses industri. Misalnya dalam roadmap semen disebut substitusi klinker + alternative fuel.
- Peningkatan proses dan teknologi baru Untuk sektor baja, teknologi seperti Electric Arc Furnace (EAF), penggunaan baja bekas, hydrogen direct reduction (H‑DRI), dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) menjadi bagian dari horizon jangka menengah hingga panjang. Laporan ACE menyebut milestone untuk 2030, 2040, 2050, hingga 2060.
- Carbon capture, utilisation & storage (CCUS) Proses yang sulit dikurangi secara langsung (misalnya kalsinasi semen) akan memerlukan penangkapan dan penyimpanan atau pemanfaatan karbon. Roadmap industri nasional menyebut strategi ini sebagai bagian dari emisi netralisasi (“neutralization”).
- Kebijakan, kerangka regulasi dan pendanaan Tanpa kerangka regulasi yang jelas (target sektoral, insentif, peraturan, pajak karbon) dan mekanisme pembiayaan yang memadai (investasi, insentif, risiko rendah), transformasi akan terhambat. Laporan IESR menyebut perlunya pendekatan multifaset yang mencakup kebijakan fiskal, pasar karbon, dan persiapan tenaga kerja.
Tantangan Utama yang Harus Dihadapi
Meskipun strategi sudah jelas, implementasi menghadapi tantangan yang tidak kecil:
- Investasi besar dan biaya tinggi: Transisi ke teknologi rendah karbon (misalnya hidrogen untuk baja, CCUS untuk semen) membutuhkan investasi besar dan jangka panjang. Banyak industri masih menggunakan kapasitas lama yang belum terkira secara ekonomi.
- Konkurensi dengan pertumbuhan industri: Indonesia masih dalam fase pembangunan industri dan infrastruktur, sehingga tekanan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja bisa mempersulit penurunan kapasitas karbon.
- Ketersediaan energi bersih dan pasokan listrik: Elektrifikasi proses industri membutuhkan pasokan listrik yang cukup dan terbarukan. Jika listrik masih dari batu bara, maka ‘electrification’ belum otomatis menjadi rendah karbon. Regulasi dan insentif yang belum matang: Meskipun roadmap sudah ada, regulasi sektoral (misalnya untuk semen, bajan) dan insentif fiskal belum semuanya diterapkan. Misalnya untuk industri semen regulasi roadmap baru akan final 2025.
- Rantai pasok global dan persaingan pasar: Industri seperti baja dan semen bersaing di pasar global, margin tipis, dan perubahan teknologi bisa membuat biaya produksi naik. Ini bisa membuat produk domestik kurang kompetitif jika biaya internalisasi karbon terlalu besar tanpa dukungan.
- Kapasitas teknologi dan tenaga kerja: Perubahan ke teknologi baru juga memerlukan peningkatan kapasitas manusia, riset dan pengembangan, serta kesiapan rantai pasok lokal. Laporan IESR menyebut pentingnya investasi dalam persiapan tenaga kerja.
Apakah Dekarbonisasi Industri Solusi atau Tantangan?
Dekarbonisasi industri jelas merupakan solusi yang diperlukan untuk mencapai net‑zero emission di Indonesia — tanpa langkah ini, target akan sulit tercapai mengingat proporsi emisi industri yang besar. Roadmap nasional memperlihatkan bahwa pengurangan 66,5 juta tCO₂e hingga tahun 2035, dan hingga 289,7 juta tCO₂e hingga tahun 2050, dapat diraih jika strategi dijalankan.
Namun, sekaligus dekarbonisasi juga merupakan tantangan besar baik dari segi teknologi, biaya, regulasi, dan transformasi struktur industri. Tantangan ini tidak berarti mustahil, tapi membutuhkan komitmen tinggi dari pemerintah, industri, dan pemangku kepentingan lainnya, serta dukungan finansial, kebijakan dan inovasi.
Dengan demikian, dekarbonisasi industri bukanlah sekadar penting melainkan mendesak. Sektor semen dan baja, sebagai contoh, menghadapi lintasan panjang: dari efisiensi dan substitusi hingga adopsi teknologi disruptif dan CCUS. Tanpa transformasi ini, risiko tertinggalnya industri Indonesia dalam era ekonomi rendah karbon juga nyata terutama saat global semakin menuntut produk yang ‘bersih’ dari segi emisi.
