Pengelolaan hutan lestari (Sustainable Forest Management, SFM) mensyaratkan tiga pilar yang saling mendukung: aspek lingkungan, aspek sosial, dan aspek ekonomi. Namun, pilar yang paling mendasar dan sering menjadi prasyarat bagi tercapainya dua pilar lainnya adalah kepatuhan terhadap hukum. Dalam konteks sertifikasi hutan berkelanjutan, Forest Stewardship Council (FSC) menempatkan hal ini sebagai Prinsip 1 Compliance with Laws (Kepatuhan terhadap Hukum).
Pemahaman Prinsip 1 FSC
Dalam dokumen standar internasional FSC-STD-01-001 V5-2, Prinsip 1 dirumuskan sebagai berikut: “The Organisation shall comply with all applicable laws, regulations and nationally-ratified international treaties, conventions and agreements.”
Lebih lanjut, kriteria-kriteria terperinci di bawah Prinsip 1 mencakup aspek-aspek seperti: kejelasan status hukum organisasi dan unit pengelolaan hutan, hak legal untuk beroperasi, pembayaran royalti atau beban hukum lainnya, perlindungan terhadap kegiatan ilegal di unit pengelolaan, serta kewajiban terhadap perdagangan dan transportasi produk kehutanan. Dengan demikian, Prinsip 1 bukan sekadar pernyataan normatif melainkan kerangka operasional yang menghubungkan regulasi hukum dengan praktik pengelolaan hutan sehari-hari.
Mengapa Kepatuhan Hukum Menjadi Pilar Utama SFM
Ada beberapa alasan kuat mengapa kepatuhan hukum menjadi pondasi bagi pengelolaan hutan berkelanjutan:
- Legitimasi operasi kehutanan. Operasi pengelolaan hutan yang dilakukan tanpa izin yang jelas, atau menyalahi regulasi, berpotensi menghasilkan konflik sosial, pelanggaran hak masyarakat adat, kerusakan lingkungan, dan pada akhirnya merusak reputasi bisnis. Dengan memenuhi regulasi, organisasi memperoleh legitimasi operasional yang membantu stabilitas jangka panjang.
- Masuknya pasar global. Di era perdagangan kayu legal dan globalisasi rantai pasok, keberadaan sertifikasi yang mengacu pada kepatuhan hukum menjadi syarat pasar. Sebagai contoh di Indonesia, sistem Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) diterapkan untuk menjamin bahwa produk kayu telah memenuhi seluruh persyaratan legalitas mulai dari asal usul, penebangan, pengolahan, hingga ekspor sebagai komplementer bagi SFM.
- Pencegahan kegiatan ilegal. Kepatuhan terhadap regulasi termasuk kewajiban untuk mencegah pembalakan liar, penebangan tanpa izin, pemanfaatan lahan ilegal semua ini merupakan elemen krusial agar hutan dapat dipertahankan secara berkelanjutan. Prinsip 1 FSC secara spesifik mencantumkan tindakan untuk melindungi unit pengelolaan hutan dari aktivitas ilegal.
Tantangan dan Implikasi di Era Perdagangan Kayu Legal
Meskipun kerangka hukum dan standar internasional telah mapan, praktik di lapangan sering menghadapi tantangan nyata:
- Penegakan hukum yang lemah atau tumpang tindih regulasi: Di banyak wilayah, regulasi kehutanan bisa tumpang tindih antara regulasi pusat dan daerah, atau antar izin/kontrak kehutanan, sehingga lembaga pengelola hutan menghadapi risiko ketidakpastian legalitas.
- Biaya dan kapasitas kecil untuk pemantauan: Terutama untuk pengelola hutan skala kecil atau masyarakat adat, biaya untuk mematuhi seluruh regulasi dan memperoleh sertifikasi seringkali menjadi hambatan. Di Indonesia, misalnya, meski SVLK ditetapkan sebagai persyaratan, studi menunjukkan bahwa pelanggaran atau pencucian kayu (timber laundering) masih terjadi karena implementasi yang belum sempurna.
- Kaitan antara kepatuhan hukum dan sertifikasi validitas internasional: Memenuhi Prinsip 1 FSC tidak hanya persoalan internal organisasi, tetapi juga menjadi prasyarat untuk memperoleh pengakuan internasional dan membuka akses ke pasar kayu yang menuntut legalitas dan keberlanjutan. Misalnya, organisasi harus menunjukkan bahwa mereka telah mematuhi regulasi lokal dan juga perjanjian internasional yang diratifikasi.
Strategi Memperkuat Kepatuhan Hukum sebagai Pilar SFM
Agar kepatuhan hukum dapat benar-benar menjadi pilar utama dalam SFM dan sertifikasi FSC, beberapa strategi dapat diterapkan:
- Pemetaan regulasi lokal dan internasional: Organisasi pengelola hutan perlu mengidentifikasi seluruh regulasi yang berlaku di wilayahnya mulai dari perundangan nasional, lokal, hingga konvensi internasional yang diratifikasi oleh negara. Standar FSC mengharuskan hal tersebut.
- Pembentukan sistem internal kepatuhan: Pengelola hutan harus memastikan bahwa organisasi memiliki izin yang jelas, hak pengelolaan yang terdokumentasi, sistem internal untuk memantau kepatuhan, dan tindakan korektif bila terjadi pelanggaran.
- Integrasi dengan sistem legalitas nasional dan jaringan sertifikasi: Sebagai contoh, di Indonesia kerangka SVLK menyediakan bukti legalitas yang dapat melengkapi atau mendukung sertifikasi keberlanjutan seperti FSC. Pengelola hutan yang mematuhi regulasi nasional dan standar internasional akan lebih mudah memperoleh pengakuan global dan akses pasar ekspor.
- Pelibatan stakeholder dan transparansi: Kepatuhan hukum juga mencakup aspek antikorupsi dan penyelesaian sengketa FSC mencakup kriteria yang mengatur komitmen jangka panjang untuk mematuhi prinsip, serta kewajiban organisasi untuk tidak menerima atau memberi suap.
- Monitoring, audit dan continuous improvement: Certifier atau badan audit harus memeriksa bukti kepatuhan hukum sebagai bagian dari proses sertifikasi. Pengelola hutan juga harus memiliki sistem pemantauan dan pelaporan berkala untuk memastikan bahwa perubahan regulasi atau kondisi lapangan direspons secara tepat.
Prinsip 1 FSC: “Kepatuhan terhadap Hukum” menegaskan bahwa pengelolaan hutan yang benar dan berkelanjutan hanya bisa tercapai jika dibangun di atas landasan legalitas yang kuat. Tanpa kepatuhan hukum, aspek sosial dan lingkungan SFM mudah terkikis konflik lahan meningkat, praktik ilegal menjamur, dan akses ke pasar kayu global yang menuntut legalitas bisa tertutup. Oleh karena itu, bagi pengelola hutan, pemangku kebijakan, dan dunia usaha kayu, memastikan bahwa organisasi, unit pengelolaan hutan, dan rantai pasokannya memenuhi regulasi dan sertifikasi adalah langkah awal yang tidak bisa diabaikan.
Dengan demikian, dalam era perdagangan kayu legal yang semakin kompetitif, kepatuhan hukum bukan sekadar persyaratan administratif melainkan pilar utama yang menentukan keberhasilan dan keberlanjutan pengelolaan hutan.
Referensi
- Forest Stewardship Council. FSC Principles and Criteria for Forest Stewardship (FSC-STD-01-001 V5-2).
- Forest Stewardship Council. “Principle 1: Compliance with Laws” (UK FSC). Multistakeholder Forestry Programme (MFP). “About the SVLK – Timber Legality Assurance System (Indonesia).”
- WRI Indonesia. “How Wood Identification Technologies Help Ensure Timber Legality in Indonesia.”
